Kebijakan untuk Pembajakan
Kebijakan untuk Pembajakan
Pembajakan. Seorang teman bertanya ketika saya tengah memindahkan buku-buku ke rak buku yang baru. “ini buku semuanya ori?” tanyanya. Saya mengangguk saja, kemudian kembali memindahkan buku yang lain. Sesekali saya menghirup dalam-dalam buku yang saya pegang. Saya masih sibuk dengan kegiatan saat teman saya mengatakan, “apa perlunya membeli buku ori jika nonori isinya sama dengan harga yang lebih murah?”.
Tidak jauh beda seperti pertimbangan penulis yang hendak menerbitkan buku di mayor atau di indie, pembeli buku bajakan pun memiliki pemikiran tersebut. perbandingan harga yang tinggi menjadi alasan populer, disusul isi yang memang sama, kemudian pengemasan yang tidak jauh beda. Ketiga alasan tersebut cukup untuk menggerakan hati seseorang untuk membeli buku bajakan.
Berbeda dengan mereka yang dengan senang hati menukar duit dengan buku orisinal. Pertimbangan yang mereka ambil bukan hanya sekadar batin dan fisik buku saja, tetapi semua hal di luar itu. Pilih makan atau buku? Tempat tinggal atau buku? Kuota atau buku? Mereka jatuh pada pilihan terakhir. Buku seakan menjadi solusi untuk menjawab pertanyaan, “besok saya makan apa?”
Apakah murahnya buku akan menjadi solusi atas permasalahan buku bajakan? Saya rasa tidak juga. Tanpa terlaksananya undang-undang yang secara tegas dituliskan, buku bajakan akan tetap menjamur. Jamur-jamur tersebut akan menyerap daya usaha dari penerbit dan penulis.
Atau barangkali, buku nonori merupakan solusi mengatasi mahalnya harga buku? Saya rasa juga tidak. Tanpa memberikan konstribusi apapun dari pembaca kepada penerbit, buku bajakan akan menghentikan munculnya buku baru. “Menulis untuk dibajak” tidak lebih baik dari “menulis untuk uang”. Uang barangkali bukan tujuan, tetapi pembajakan dapat membunuh motivasi menulis seorang penulis.
Buku-buku nonori masih memiliki manfaat yang sama untuk dibaca. Sama dalam genggaman dan, mungkin, nyaman untuk dibaca. Pembacanya pun bisa dengan lancar menyampaikan apa yang didapatnya dalam buku tersebut. Walau lembar-lembarnya lepas, hal itu bukanlah masalah. Sebanding dengan harga yang ia dapat.
Membeli buku nonori bisa lebih berbahaya daripada menggunakan software bajakan yang seringkali disisipi malware dan adware. Kover yang tidak seindah ori menjadi masalah utama bagi pecinta estetika rak buku. Aroma kertas yang tidak harum menjadi masalah utama bagi para penghirup aroma buku. Font yang seringkali dicetak dengan buruk menjadi masalah utama bagi mata manusia. Jika malware dan adware merusak komputer, maka buku bajakan dapat merusak psikologi manusia.
Sampai sekarang, Terban dan Shoping menjadi incaran utama para pencari buku bajakan di Yogyakarta. keduanya merupakan antologi toko buku versi bajakan yang menyediakan segala jenis genre buku. Dari buku untuk kebutuhan akademik sampai fiksi teenlit. Beberapa toko masih dengan baik hati menyediakan buku ori sebagai pemanis etalase mereka. Bagaimana pun, tawaran buku bajakan yang bisa sampai setengah harga menjadikan mereka (buku ori) tidaklah manis lagi.
Menurut saya wajar-wajar saja ketika teman saya berkata, “Mending beli buku bajakan.” Soal harga saya sepakat dengannya, terlebih ia mengatakan, “Yang penting ilmunya tetap sama.” Tapi yang tidak membuat tidak sepakat adalah bahwa saya penikmat estetika rak buku. Lagi pula, menghormati dan mengapresiasi karya orang lain adalah ilmu yang lebih tinggi daripada menghemat uang dengan membeli buku nonori.
Biasanya yang dibajak adalah buku yang memiliki potensi untuk laku di pasar buku. Walau kebanyakan buku tersebut lahir dari penerbit mayor, buku dari penerbit indie bukan berarti terbebas dari incaran pemabajak. Kedung Dharma Romansha pernah mengatakan bahwa bukunya yang diterbitkan Indie Book Corner pernah dibajak. Buku yang berjudul Telembuk dan Kisah Cinta yang Keparat tersebut pernah ditemuinya di pasar buku Shoping.
Melihat cara kerja seperti itu bisa disimpulkan bahwa tidak ada proses “pertaruhan” dalam buku bajakan. Pertaruhan dengan artian apakah buku ini akan laku atau tidak dalam versi bajakannya. Buku yang dibajak tentunya sudah melalui proses pengamatan yang cukup jeli. Sebab, pembajak sudah tahu nasib buku tersebut nantinya.
Pembajak menghindari membajak buku yang bertemakan ideologi tertentu. Buku berjenis demikian hanya memiliki pembaca yang tertentu pula. Tidak bisa dipastikan berapa banyak orang yang nantinya terpikat dengan buku tersebut. Buku-buku jenis itu memiliki tingkat pertaruhan yang tinggi.
Jika pun ada jenis buku yang memiliki tujuan tertentu, buku yang dibajak biasanya berupa buku yang harus ada dalam dunia perkuliahan. Atau buku-buku yang memang memiliki musimnya, seperti buku tes CPNS, atau SBMPTN.
Tempat seperti Terban dan Shoping ramai dikunjungi saat awal tahun ajaran. Buku-buku kebutuhan pendidikan SD, SMP, dan SMA memiliki musimnya sendiri untuk laku terjual. Pembajak seakan paham, buku apa saja yang laris digunakan di sekolah pelanggannya.
Penulis tentu saja tidak mendapat hasil apapun dari buku bajakan. Saya rasa benar tentang apa yang ditulis oleh Muhidin dalam di Radiobuku.com, bahwa penulis hanya akan mendapat pujian atau kritikan dari bukunya tersebut. Itulah bagaimana buku bajakan bisa membuat tenar penulis, tapi menggerogoti finansial mereka.
Parahnya lagi, buku-buku yang telah dibajak dikonversi menjadi Portable Document Format (PDF). File tersebut nantinya bisa diunduh secara bebas melalui sebuah website tertentu. Hal ini akan menjadi masalah serius. Padahal, membaca melalui layar gadget atau laptop berbahaya bagi kesehatan mata.
Upaya untuk menghentikan pembajakan buku rupanya sudah banyak dilakukan. Tapi lagi-lagi belum menghentikan kegitannya sampai sekarang.
Wakil ketua III Ikapi, Iwan Setiawan, pernah mengatakan bahwa untuk menghentikan pembajakan, tergantung kepada masyarkatnya sendiri. Di mana kemauan masyarakat untuk melaporkan dan tidak melanggar Undang-undang hak cipta dirasa belum maksimal. Ia juga sepakat tentang harga buku yang menjadi pertimbangan konsumen untuk membeli buku bajakan adalah benar.
Masalah pembajakan telah menjadi musuh utama penerbit dan penulis. Wajar saja ketika penulis menuntut para seseorang yang telah membajak karyanya. Saya rasa itu yang memang menjadi haknya. Beberapa tahun lalu, karya fiksi Helvi Tiana Rosa pernah dibajak oleh seorang doktor di Brunei Darussalam. Ia dan adiknya, Asma Nadia, telah melakukan upaya pengaduan kepada KBRI tapi belum juga mendapat perkembangan.
Kenyataannya, pembajakan bukan hanya terjadi dalam perbukuan saja. Film, software, dan game sangat rentan dalam pembajakan. Pembajakan digital berbeda halnya dengan pembajakan buku, di mana pembajak bisa mendapatkan untung secara langsung melalui penjualan. Pembajakan software, misalnya, diedarkan produknya melalui sebuah website tertentu, dan dapat unduh secara gratis.
Barangkali yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah dua hal. Pertama, kebijakan yang tegas untuk buku bajakan yang telah melanggar copyright. Kedua, subsidi yang diberikan kepada buku-buku.
Alfin Rizal, dalam satu wawancara, mengatakan bahwa dirinya sangat menyayangkan upaya pembajakan buku yang terus digarap tanpa adanya kebijakan dari pihak berwajib. “selama pembajakan belum sadar dan taubat, perputaran antara penulis, penerbit, sampai pembaca akan lancar,” tuturnya.
Bagaimanapun, pembajakan perlahan-lahan akan membunuh industri buku di Indonesia. Pembajak seakan-akan memiliki hak istimewa mendistribusikan buku nonorinya tanpa takut tercekal hukum. Kasus pembajakan seperti ini sama halnya dengan kasus pembajakan film, software, dan game.
Dengan melihat larisnya buku bajakan, bisa dipastikan bahwa minat baca masyarakat sangatlah tinggi. Subsidi buku dapat membantu masyarakat untuk mempertimbangkan membeli buku ori. Melihat beberapa tahun terakhir harga buku semakin melunjak karena kertas untuk buku naik harga. Belum lagi pajak penulis sebesar 15% dari royalti, sehingga penerbit perlu menaikkan harga buku untuk mengimbanginya.
Menurut saya, beralih media dari cetak ke digital pun tidak akan menjadi solusi yang baik untuk buku. Mempertimbangkan kenyamanan saat membaca, juga makna dari buku yang merupakan lembar kertas berjilid. Cahaya layar bisa berdampak buruk terhadap mata, yang berarti nantinya akan menimbulkan masalah yang lain.
Kesadaran masing-masing individulah yang dapat meredam angka pembajakan buku. Memberikan sosialisasi di tempat kegiatan akademik seperti sekolah-sekolah barangkali bisa menjadi solusi yang bagus.
Mungkin kuantitas buku yang lahir dari penerbit di Indonesia masih di bilang kurang. Yang kita perlukan sekarang adalah mencari solusi mengolah sesuatu yang kecil itu dari segi kualitasnya. Dalam hal ini, semua komponen terlibat untuk saling mengembangkan.