Dunia Maya Bukan Media Penghakiman

Dunia Maya Bukan Media Penghakiman


Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Dunia Maya Bukan Media Penghakiman

Belum lama ini kita diberikan kabar dari Survei Microsoft yang mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara, kabar ini cukup mengesalkan, agaknya kita harus mengerti mengapa Microsoft mengeluarkan pernyataan ini, alih-alih menjadi koreksi sikap bersosial media, masyarakat justru mengamini pernyataan tersebut dengan memberondong cuitan pemberontakan di laman media Microsoft.

Survei yang dilakukan Microsoft seakan bertolak belakang dengan apa yang ditemukan oleh Expat Insider tahun 2019 lalu, menurut sumber dari tempo.co, Expat Insider pada tahun 2019 melakukan survei terhadap 20.259 expatriat yang mewakili 182 negara dan tinggal di 187 negara atau dari keseluruhan total indeks, Indonesia berada di posisi 29 dari 64 negara, sementara untuk subkategori keramahan, Indonesia berada pada posisi 8.

Menjadi masyarakat yang paling ramah sekaligus paling tidak sopan berinternet, ini terdengar aneh. Melihat ini, barangkali kita bisa memposisikan Microsoft dan Expat Insider sebagai kurator dalam kontes burung-burung. Expat Insider menilai burung dari segi sosio-kultural (mungkin juga kandang burungnya), sedangkan Microsoft menilai burung dari segi kualitas cuitannya dalam jaringan media sosial. Lalu kita adalah burung-burung dalam kontes yang menjadi objek survei mereka.

Sebenarnya, dengan dikatakannya Indonesia sebagai negara paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara, tidak serta merta meruntuhkan anggapan tentang Indonesia sebagai negara paling ramah di dunia. Justru, Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang mungkin bisa meromantisasi umpatan menjadi ungkapan keakraban, ungkapan kotor dan sebagainya adalah contoh umpatan yang seringkali kita gunakan sebagai bumbu percakapan.

Masalahnya adalah dalam berinternet atau bersosial media kita kadang abai akan etika berkomunikasi. Saat melakukan percakapan di media sosial, kita lupa/melupakan/tidak mau tahu dengan siapa kita bicara, saat menemui kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh figur publik misalnya, kita seringkali menuliskan isi pikiran kita dalam suatu komentar/cuitan seakan-akan menjadi orang tua yang sedang menasehati anaknya di ruang tertutup secara intim, dengan berbagai ujaran kebencian, umpatan, pernyataan tidak suka atau pengecapan kalimat sarkas lainnya.

Kita terlalu mudah untuk mengejek/merundung orang lain yang tidak kita kenal sama sekali. Padahal kita tidak tahu apa yang sedang ia lakukan untuk proses kreatifitas untuk kehidupannya sendiri, memang, apa yang diunggah di media sosial bisa diakses secara publik, namun bukan berarti kita bisa mencemo’oh seakan-akan menjadikannya sebagai media penghakiman.

Jika saya amati, fenomena seperti ini bukan lagi masalah pencarian eksistensi ataupun jati diri, melainkan sudah menjadi ekstasi itu sendiri, setelah kita berkontribusi sehingga menjadikan sesuatu “VIRAL”, kita seakan menjadi puas dengan mengakatan, “inilah kekuatan netizen Indonesia.” dalam hati maupun dituliskan di media sosial. Dari sini masyarakat “kicau” indonesia menemukan ekstasi dan kepuasan.

Bisa jadi, di kemudian hari ekstasi-ekstasi tersebut berkembang menjadi lebih jelas: fetisisme. Kita kemudian menganggap “kicau-kicau atau cuitan” itu memiliki ruh/kekuatan magis yang menimbulkan gairah tertentu, gairah yang sulit dihentikan. Seakan datang seperti rangsangan nafsu, namun dalam bentuk “kicau” demi memenuhi hasrat.

Sebagai kontestan “kicau burung” yang dilakukan oleh Microsoft, perlu bagi kita menerima hasil yang dipaparkan kurator, tentu saja kita memiliki hak untuk menanggapi hal tersebut, kita bisa menjadi burung pentet yang berisik, menjadi cucak ijo yang meniru suara burung lain, menjadi burung kenari yang puitik, atau mengabaikannya seperti burung walet yang lebih tertarik untuk mempercantik sarang.

Demi mencapai tujuan untuk menjadi burung yang menyenangkan, kita perlu mengatur kicauan/cuitan sebijak mungkin. Microsoft telah memberikan kita fakta, tinggal bagaimana kita selanjutnya, apakah kita akan menjadi burung paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara, atau justru meningkatkan prestasi kita sampai ke skala dunia?



Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait

inquiry
aksara