Manusia: Kesempurnaan Ciptaan dalam Semesta yang Luas
Manusia: Kesempurnaan Ciptaan dalam Semesta yang Luas

Oleh:
Eka Mardiana
Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) Jawa Barat
Signal.co.id – Di tengah miliaran galaksi, setiap bintang menyimpan kemungkinan adanya kehidupan. Pertanyaan klasik terus bergema: apakah kita sendirian di alam semesta ini? Perkembangan ilmu pengetahuan, mulai dari teleskop James Webb, eksplorasi Mars, hingga pencarian planet-planet mirip bumi (exoplanet), semakin mendorong rasa ingin tahu manusia. Namun, di balik keingintahuan ilmiah itu, ada keyakinan mendasar: seluruh alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan manusia tetaplah ciptaan yang paling sempurna.
Dalam berbagai kitab suci, manusia digambarkan sebagai makhluk istimewa. Dalam tradisi Islam, manusia disebut khalifah di bumi — pemegang amanah untuk menjaga dan mengelola ciptaan. Dalam tradisi Kristen, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Konsep yang sama hadir pula dalam pandangan banyak filsafat spiritual: manusia adalah makhluk yang diberi akal, hati nurani, dan kebebasan moral.
Kesempurnaan manusia tidak hanya terletak pada fisiknya, tetapi juga pada kapasitasnya untuk berpikir, mencipta, dan memilih. Di situlah letak keunikan manusia dibanding makhluk lain yang kita kenal. Jika semesta ini begitu luas, bukan tidak mungkin ada kehidupan lain. Namun, sejauh apapun pencarian itu, kesempurnaan manusia tetap terletak pada kemampuan rohaniah dan moral yang tidak tertandingi.
Sains dan Iman: Bukan Lawan, Tapi Mitra
Ilmu pengetahuan modern justru membuka cakrawala baru tentang kebesaran Tuhan. Penemuan exoplanet, misalnya, bukan ancaman bagi iman, melainkan bukti betapa luasnya ciptaan Tuhan. Jika para ilmuwan NASA memperkirakan ada miliaran planet yang mirip bumi, itu justru meneguhkan keyakinan bahwa karya Tuhan melampaui batas imajinasi manusia.
Jurnalisme memiliki peran penting di sini. Kita perlu menghadirkan wacana yang sehat: sains dengan data dan bukti, iman dengan nilai dan makna. Publik jangan sampai terjebak dua ekstrem: menolak sains atas nama dogma, atau menolak iman atas nama “rasionalitas semata.” Justru kolaborasi keduanya memperkaya cara pandang kita terhadap semesta.
Pertanyaan menarik muncul: jika kelak ditemukan makhluk cerdas lain, bagaimana manusia harus bersikap? Apakah prinsip martabat dan hak asasi hanya berlaku bagi manusia, atau bisa meluas ke makhluk non-bumi?
Di sinilah pentingnya refleksi moral. Kesempurnaan manusia bukan alasan untuk sombong, melainkan mandat untuk bertanggung jawab. Sama seperti kita diajarkan menghormati perbedaan suku, agama, dan budaya di bumi, demikian pula — jika makhluk lain itu benar-benar ada — pendekatan etis, dialogis, dan penuh rasa hormat harus dikedepankan.
Bisa jadi, pengalaman kita merawat keragaman di bumi adalah “latihan” menghadapi kemungkinan keragaman kosmik. Jika kita gagal menghargai sesama manusia di bumi, bagaimana mungkin kita siap menghadapi makhluk lain yang mungkin jauh lebih asing?
Pada akhirnya, kesempurnaan manusia adalah amanah, bukan privilese kosong. Tugas kita bukan sekadar bertanya tentang makhluk lain di semesta, melainkan memastikan bahwa bumi — rumah kita saat ini — dirawat dengan sungguh-sungguh. Krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial adalah bukti bahwa manusia masih sering lalai dalam mengemban kesempurnaan yang diberikan Tuhan.
Menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, sama mulianya dengan memandang langit penuh bintang dan bertanya-tanya tentang kehidupan di luar sana. Karena apa pun yang kita temukan di masa depan, manusia tetaplah makhluk yang diberi kapasitas unik untuk mengenal Tuhannya, menyusun peradaban, dan memilih jalan moral.
Semesta ini luas, penuh misteri. Ilmu pengetahuan akan terus mencari, iman akan terus menuntun. Tapi satu hal pasti: manusia tetaplah ciptaan paling sempurna, bukan untuk berbangga diri, melainkan untuk mengemban tanggung jawab.