Dukung Kebijakan Dedi Mulyadi, Politikus Sekaligus Praktisi Hukum Ruslandi : Pencitraannya Dimana?
Dukung Kebijakan Dedi Mulyadi, Politikus Sekaligus Praktisi Hukum Ruslandi : Pencitraannya Dimana?

Signal.co.id – Politikus yang juga praktisi hukum, Ruslandi memberi pendapatnya terkait kebijakan-kebijakan yang dilakukan gubernur jawa barat Dedi Mulyadi.
Meski berada di partai yang berbeda, Ruslandi mengaku mendukung kebijakan-kebijakan dedi mulyadi. Menurutnya apa yang dilakukan dedi mulyadi bukan sekedar pencitraan, melainkan aksi nyata dalam membangun daerah.
Ditemui di salah satu cafe di Indramayu, Ruslandi menilai kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi dari dua aspek penilaian, yaitu politikus maupun praktisi hukum.
“Kebijakan-kebijakan Dedi Mulyadi positif saya politikus dan praktisi hukum. Dari kedua sisi penilaian tersebut, menurut saya itu bukan pencitraan karena tidak ada beban,” katanya, Selasa (29/04/2025).
Ruslandi yang sepak terjangnya sebagai politikus maupun praktisi hukum sudah banyak diketahui oleh khalayak ini berpendapat, bahwa hal yang wajar jika ada yang menilai kebijakan Dedi Mulyadi sebuah pencitraan, tapi bagi Ruslandi, Dedi mampu membuat terobosan dan inovasi sosial, politik dan ekonomi.
“Dalam bingkai demokrasi sah-sah saja orang menilai kebijakan Dedi Mulyadi ini sebagai sebuah pencitraan, reklame, atau branding politik. Tapi, dari penilaian saya yang hidup sebagai politisi di Indramayu, Dedi Mulyadi sudah bagus,” tuturnya.
“Dia memulai kerjanya dengan mendobrak segala sesuatu yang memang selama ini terjadi. Justru dia membuat terobosan-terobosan dan inovasi sosial, politik, ekonomi juga. Karena sesungguhnya pemimpin itu tidak harus tekstual atau hanya melihat teori-teori tapi dia mempraktekan,” lanjut Ruslandi.
Dikatakan Ruslandi, Dedi Mulyadi mengetahui substansi dari arah kebijakan politik. Pemimpin sekelas Gubernur yang mengelola Jawa Barat dengan segala macam dinamika dan problematika di kehidupan Masyarakatnya, tapi Dedi mampu memetakan dimana esensi dasarnya, dimana fundamental problematikanya. Sehingga, simpul-simpul tersebut bisa ditabrak untuk menjelaskan kepada publik tentang apa yang seharusnya terjadi.
“Baik berkaca dari perjalanan empiris kepemimpinan terdahulu maupun era modern saat ini, yang perlu orang tau adalah fakta sebenarnya di lapangan,” kata Ruslandi.
Ia mengambil salah satu contoh kebijakan Dedi Mulyadi yang dengan tegas menertibkan pemukiman, bagi Ruslandi, hal tersebut sangat positif, melihat akibat jangka panjang jika terjadi pembiaran adanya bangunan-bangunan yang tidak di tempat seharusnya.
“Dedi Mulyadi menyadari bahwa orang miskin perlu dibantu, tetapi juga dengan dalil kemiskinan, orang tidak boleh menabrak aturan, misalnya mendiami properti-properti pada obyek vital. Bantaran sungai itu kan vital, betul memang seketika itu tidak merasakan akibatnya, namun dalam jangan panjang ketika regulasi-regulasi itu ditabrak dengan dalil kemiskinan dan segala macam ironi penderitaan rakyat namun menabrak aturan maka ada akibatnya,” paparnya.
Baginya, seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas, dan menurutnya Dedi Mulyadi sudah tegas. Bahkan Ruslandi mempertanyakan dimana letak pencitraan Gubernur Jabar tersebut.
“Menurut saya Dedi Mulyadi tegas ya, dia mencoba mendudukan persoalan dengan mengakui bahwa adanya kesenjangan ekonomi dan sosial di tengah Masyarakat, letak pencitraannya dimana?,” tanya Ruslandi.
“Kalau pencitraan itu dia hanya bicara, memgemas tanpa action di lapangan. Sementara Dedi Mulyadi berani bertaruh dengan berbagai macam konsekuensinya, kalau pencitraan setiap hari itu orang capek ya, dan tidak ada piala citranya, yang ada fakta di lapangan kemudian output bagi Masyarakat seperti apa,” cetusnya.
Disampaikan Ruslandi, terkadang kedisiplinan memang harus dipaksakan, dan jangan karena dalil kemiskinan pemimpin menjadi takut, takut dijauhi Masyarakat, takut tidak dipilih lagi.
“Dedi Mulyadi tidak seperti itu ya, meski bukan pendukungnya dan berbeda partai, namun saya melihat kepemimpinannya ya memang seperti itulah seharusnya,” ucapnya.
Kemudian, ia juga menanggapi perihal Aura Cinta yang mengkritik kebijakan Dedi Mulyadi terkait wisuda setingkat SD, SMP dan SMA, dan kini dibully oleh netizen. Ruslandi berpendapat sebagai warga Jawa Barat seharusnya mendukung kebijakan tersebut karena.
Wisuda setingkat SD, SMP, SMA ini dianggap Ruslandi sebagai produk sosial peradaban jaman tahun 2000 ke atas. Ia mengingatkan agar apa yang terlihat indah di media sosial itu jangan ditiru, karena hal tersebut untuk orang-orang kaya yang kelebihan uang, seperti jalan-jalan, foto-foto, seolah-olah keren, indah. Jika seandainya budaya itu diterapkan, atau sebagai Pemimpin permisif terhadap hal tersebut, maka sama saja dengan membiarkan potensi penggerogotan ekonomi keluarga dari aspek hura-hura yang hanya ingin terlihat indah di media sosial.
“Apa sih untungnya? Media sosial kan hanya ingin update foto bersama teman-teman satu angkatan. Wisuda itu hanya untuk Mahasiswa yang lulus sarjana, dapat gelar, artinya ada satu desakan atau paksaan untuk hidup prihatin dalam kesederhanaan tapi tidak menghilangkan rasa bahagia, itu uang diajarkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi,” ujarnya.
“Jadi, bagaimana caranya untuk menikmati kesederhanaan dengan cara prihatin, memprioritaskan yang lebih penting, jangan untuk yang sifatnya sekunder tetapi menafikan hal yang sifatnya primer,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya pantas saja jika Aura Cinta dibully karena menabrak suatu kebijakan baik yang melindungi kepentingan para orang tua yang secara ekonomi dianggap tidak mampu, tapi ingin anaknya bahagia dengan berpikir bahwa kebahagiaan itu didapat dari berkumpul perpisahan, tamasya, piknik, akhirnya menjadi desakan yang secara tidak sadar menggerus ekonomi keluarga.
Ruslandi justru merasa khawatir, Aura cinta menjadi terlalu besar mendongkrak popularitasnya melalui hal yang kontradiksi, dan sengaja dikesankan sebagai sosok perlawanan dari rakyat kecil.
“Kasian saja, artinya skenario dengan menjadikan Aura Cinta sebagai sosok perlawanan dari rakyat kecil belum tentu berhasil,” katanya.
Terakhir, ia juga berpandangan bahwa sesuatu yang viral itu tidak akan bertahan lama dan mudah dilupakan.
“Dunia media sosial itu paling oke satu dua tahun, saya tidak pernah salut dengan yang viral-viral, banyak contohnya, orang ketika bosan ya sudah. Sosial media itu hanya suatu tanyangan yang jika dicerna dengan baik bisa menjadi edukasi, kalau sepele jadi hiburan,” terangnya.
“Mana kasus viral yang bertahan secara legend, hanya mercusuar,, tentative seketika dan pragmatis. Mau diangkat seperti apa melambung nama dan sosoknya tidak akan manfaat, yang paling manfaat itu kandungan pemikiran dan kiprah seseorang,” tutup Ruslandi.