Dinas PUPR Indramayu Tegaskan Sudah Alokasikan Anggaran APD dan Asuransi, Tanggung Jawab K3 Ada pada Pelaksana
Dinas PUPR Indramayu Tegaskan Sudah Alokasikan Anggaran APD dan Asuransi, Tanggung Jawab K3 Ada pada Pelaksana

Signal.co.id – Menyusul sorotan tajam terkait kelalaian pekerja proyek Sekretariat Kecamatan Sindang yang nekat bekerja tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang sudah dipublikasikan di media online berjudul ” Pekerja Poyek Sekretariat Kecamatan Sindang Nekat Tak Mengenakan APD, Diduga Minim Pengawasan.” Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Indramayu akhirnya angkat bicara.
Melalui Kepala Bidang Bangunan dan Bina Konstruksi, Leila Indrayati, dinas menegaskan bahwa aspek keselamatan kerja sudah diakomodasi dalam setiap rencana proyek.
“Dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan, kami telah mengalokasikan dana untuk pengadaan APD bagi para pekerja,” ujar Leila saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (18/7/2025).
Tak hanya APD, Leila menjelaskan bahwa setiap penyedia jasa konstruksi juga diwajibkan mendaftarkan para pekerja ke dalam program asuransi ketenagakerjaan melalui BPJS Ketenagakerjaan, khusus untuk menjamin perlindungan selama masa kontrak kerja berlangsung.
“Saya selalu tekankan kepada penyedia jasa, asuransi tenaga kerja harus aktif selama masa proyek, bukan hanya iuran bulanan rutin,” imbuhnya.
Leila tidak menampik bahwa di lapangan masih sering ditemukan pekerja yang tidak mengenakan APD saat bekerja. Namun menurutnya, itu bukan semata kelalaian dinas, melainkan soal disiplin dan budaya kerja yang masih sulit diubah.
“Kami sudah lakukan edukasi, pengawasan lapangan secara berkala, bahkan teguran baik lisan maupun tertulis. Tapi praktiknya, pekerja masih banyak yang bandel,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pengawas teknis lapangan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dari dinas juga secara rutin turun ke proyek-proyek untuk memastikan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dipatuhi.
Namun, Leila menegaskan bahwa kendali penuh atas pelaksanaan teknis di lapangan berada pada kontraktor atau penyedia jasa, bukan langsung di bawah dinas.
“Kontrak kerja kami itu dengan perusahaan, bukan dengan tukangnya. Maka tanggung jawab pengawasan langsung terhadap para pekerja ada di pihak pelaksana, jika masih dibiarkan penyedia jasa akan menjadi catatan kami.” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Leila memberi ilustrasi menarik yang menggambarkan tantangan mengubah kebiasaan kerja para tukang.
“Ibaratnya kita sudah belikan mukena, sarung, dan sajadah, tapi belum tentu orangnya mau salat. Sama halnya, APD kami sediakan, tapi belum tentu dipakai,” ujarnya.
Pernyataan tersebut menggambarkan dilema klasik di sektor konstruksi, di mana kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerap diabaikan oleh para pekerja, meski fasilitas sudah tersedia.
Meskipun dinas sudah menjalankan tanggung jawabnya, Leila mengaku tak henti mengingatkan pihak pelaksana proyek untuk bersikap tegas terhadap pekerja yang melanggar aturan keselamatan.
“Budaya disiplin memang PR besar. Tapi kami minta penyedia jasa jangan anggap remeh. Kecelakaan kerja bukan hanya soal luka fisik, tapi bisa berdampak hukum dan citra instansi,” tuturnya.
Leila berharap peran aktif semua pihak, terutama pelaksana proyek, dalam mewujudkan lingkungan kerja yang aman dan layak. Ia juga mengingatkan pentingnya menjadikan keselamatan sebagai prioritas utama.
“Jangan tunggu ada korban jiwa. Keselamatan kerja harus jadi budaya bersama,” pungkasnya.